F A Z I L L A
L.A
Chapter 2 : Keluh yang Tak Tersua
Di sekolahnya Zilla, setiap tahunnya akan diadakan kompetisi sains semacam olimpiade antarsekolah. Biasanya, sekolah akan mengambil beberapa siswa dari kelas 8 untuk mewakili sekolah.
Bel istirahat berbunyi, Zilla melangkah melewati pintu keluar kelas. Di koridor depan kelas Zilla bertemu dengan Bu Anna. Zilla pun menyalami Bu Anna sebagaimana murid yang hormat kepada gurunya.
"Zilla, kamu masuk bimbingan belajar untuk kompetisi sains tahun depan, yah! Bagaimana?" Bu Anna menawarkan.
Zilla terdiam tak mengerti, berusaha mencerna apa yang barusan dikatakan gurunya itu.
"Kamu mau pilih biologi atau fisika?" Suara Bu Anna membuyarkan lamunan Zilla.
"Eum, biologi aja kali ya, bu?" Zilla menjawabnya asal. Pasalnya, Zilla tak tahu apa perbedaan antara biologi dan fisika. Yang Zilla tahu, keduanya adalah bagian dari mata pelajaran IPA. Dan karena kata "biologi" pernah Zilla dengar –walau tak tahu artinya–, jadilah Zilla memilih biologi.
"Tapi, bu. Kalau menurut Bu Anna, Zilla sebaiknya pilih mana?" Zilla bertanya seperti itu karena dirinya pikir sang guru pasti lebih mengerti.
"Kalau menurut ibu, kamu lebih cocok ke fisika."
"Ya sudah, bu. Zilla pilih fisika saja," ucap Zilla sedikit gugup.
Zilla merasa senang karena kini keberadaannya dianggap, tidak seperti saat dia berada di sekolah dasar, dimana dirinya hanyalah murid biasa yang tak begitu akrab dengan guru.
Bel pulang berbunyi. Seluruh murid berhamburan keluar dari ruangan kelasnya masing-masing. Saat-saat seperti ini, jalan menuju gerbang sekolah akan nampak begitu ramai, tak jarang bahkan sampai berdesak-desakan.
Teriknya mentari terasa begitu panas, rasa-rasanya sang surya berada tepat di atas kepala. Pasalnya, setiap hari Zilla harus berjalan kaki menyusuri jalanan yang di kanan-kirinya terdapat sawah, tak ada penghalang semacam atap rumah atau dedaunan pohon di atas kepalanya.
"Memangnya benar ya kalau bumi itu berputar?" Gumam Zilla sembari memandangi hamparan langit biru di atasnya.
"Ya memang begitu kan katanya," Risa yang berjalan di samping Zilla menanggapi.
Risa adalah teman sekelas Zilla yang kebetulan jalan pulang ke rumahnya searah dengan Zilla. Karena itu, mereka berdua sering pulang bersama.
Dalam perjalanan mereka sesekali membicarakan beberapa hal, seperti hal-hal apa saja yang telah terjadi di sekolah, dan tak jarang Zilla mengajukan pertanyaan-pertanyaan nyeleneh yang dianggap itu adalah penting.
"Tapi, Sa. Kalau bumi berputar, kenapa kita nggak merasakan tanah yang kita pijak ini bergerak?"
"Mungkin karena adanya gravitasi," Risa menjawab asal.
"Gitu ya, Sa?" Zilla masih penasaran.
Risa hanya mengangkat kedua bahunya, seolah berkata 'entah'.
Risa memang anak yang cukup pendiam, dia tak banyak bicara dan sangat kalem.
Zilla dan Risa sudah melewati hampir setengah perjalanan. Melewati sawah, jembatan, dan kini tanjakan. Huft, melelahkan sekali rasanya.
"Sa," panggil Zilla memecah keheningan.
"Bumi beneran bulat?" Zilla ini selalu saja menanyakan hal-hal aneh.
"Memang bulat, La."
"Kenapa?"
"Dari buku-buku yang kubaca, bumi itu memang bulat. Banyak teori yang mendukungnya," jelas Risa.
"Coba aja nih, La. Kamu lihat kapal yang berlayar di laut. Semakin menjauh, kapal itu akan semakin kecil dan akhirnya nggak terlihat lagi, seperti masuk ke dalam laut. Bisajadi itu karena bumi bulat, melengkung, makanya semakin jauh kapalnya seperti tenggelam," sambungnya. Dengan penalaran seadanya, Risa mencoba memberi penjelasan sederhana pada Zilla.
Zilla yang mendengarkan hanya mengangguk-angguk berusaha memahami.
"Tapi, Sa. Kalo bumi bulat, terus berputar setiap saatnya,, kalo kita lompat setinggi mungkin terus mendarat beberapa waktu kemudian, pasti kita bakalan mendarat di tempat yang berbeda dari tempat awal kita lompat tadi. Benar, kan?"
"Memangnya kita melompat setinggi apa, Zilla? Paling cuma beberapa detik," Risa tersenyum mendengar pernyataan temannya itu.
"Kan misal, lompatnya tinggi, pasti kan memerlukan beberapa waktu untuk balik mendarat tuh. Lompatnya setinggi mungkin, Sa!"
"Zilla Zilla," Risa terkekeh kecil menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan pemikiran teman di sampingnya itu.
"Udah, La. Aku duluan, ya!" Tak terasa mereka sudah berada di dekat rumah Risa.Mau tidak mau obrolan mereka harus berakhir dan Zilla pun melanjutkan perjalanannya sendirian.
Sesampainya di rumah, Zilla menghempaskan tubuhnya di atas sofa ruang tamu. Panas, lelah sekali rasanya.
Setelah beberapa menit merebahkan diri, Zilla pun melangkah untuk membersihkan diri kemudian bersiap untuk shalat ashar. Terkadang Zilla menyempatkan diri untuk membaca Al-Qur'an beberapa halaman selepas mendirikan shalat.
Seusai itu, Zilla akan beranjak menuju ruang tv sekaligus ruang belajarnya. Ya, kebiasaan Zilla adalah belajar sambil menyalakan tv. Entah tv itu ditonton atau tidak, yang penting nyalakan saja.
Dalam belajar, Zilla mempunyai trik sendiri. Zilla akan mempelajari bagian materi yang belum disampaikan gurunya. Ia akan membaca, mencari informasi tambahan seputar bab tersebut dari internet, kemudian mencoba mengerjakan latihan-latihan soal yaang ada. Dengan cara demikian, Zilla akan berada selangkah lebih dulu dari teman-temannya yang lain. Ketika gurunya menyampaikan, setidaknya isi kepala Zilla sudah memiliki bekal.
Belajar sambil menyalakan televisi tidak begitu buruk kelihatannya, tidak mengganggu konsentrasi juga. Bagi Zilla, dengan adanya tv justru membuat belajarnya terasa santai. Entahlah, setiap orang memiliki cara belajarnya masing-masing.
Hal ini berlangsung sampai jam tidur malamnya. Jika waktunya shalat, ia akan menghentikannya lalu beranjak mengambil air wudhu. Jika perutnya terasa lapar di luar jam makan, ia akan pergi ke kedai untuk membeli beberapa camilan kemudian dinikmatinya sambil belajar. Santai saja. Waktu belajar yang panjang, namun tidak terus-terusan terpaku pada buku.
Zilla cukup menikmati kesehariannya di dalam rumah. Walau tanpa teman seorang pun, tak masalah baginya. Jika berada sendirian sudah dirasa ramai, untuk apalagi adanya teman.
Katakan saja Zilla itu sosok yang introvert. Zilla tak begitu mudah berbaur dengan orang-orang baru. Di suasana ramai, ia merasa sendirian. Sementara dalam kesendirian, ia merasa nyaman.
Selain bising, alasan yang membuat Zilla kurang suka berada di keramaian adalah dia takut pada tatapan yang dilemparkan orang-orang kepadanya. Zilla tidak percaya diri.
Sebenarnya, Zilla masih memiliki teman. Tak jarang beberapa teman sekelasnya mengunjungi rumah Zilla, mengajak Zilla bermain dan keluar rumah. Tapi Zilla seringkali menolak dengan dalih "Ah, aku malas. Silakan kalian saja yang main. Aku tidak ikut."
Zilla terlalu nyaman dan merasa aman berlindung di bawah atap rumahnya. Dunianya hanya sebatas tembok ruangan. Dan baginya ini menyenangkan.
Tapi selalu berada dalam rumah tak menjamin kebahagiaan Zilla sepenuhnya.
Ada beberapa rumah yang tak ramah yang membuat tuan rumahnya ingin enyah. Seperti yang dirasakan Zilla. Sesekali Zilla merutuki diri, mengapa harus terlahir dari keluarga tersebut. Keluarga yang darinya Zilla tak merasa mendapatkan cinta dan kasih sayang sebagaimana yang ada di keluarga lainnya.
"Diam! Tak usah menangis! Jangan melulu banyak meminta dan menginginkan seperti yang adikmu dapatkan! Adikmu punya ayah, dan kau tidak! Enyahlah!" Menyesakkan sekali rasanya setiap mengingat hari itu. Saat dimana semuanya nampak kabur. Menahan tangis. Menahan agar cairan bening yang menggenang di pelupuk matanya itu tidak tumpah.
"Andai saja ayahku masih bersama kami, akankah ibu memperlakukanku seperti itu?" Ucap Zilla lirih.
"Aku benci semuanya! Aku benci mereka yang tak pernah menganggap keberadaanku! Aku benci orang tuaku yang berlaku seolah aku ini bukan anak mereka! Aku benci setiap orang yang suka menghinaku! Aku ini apa, Tuhan? Setidakpantas itukah aku ada di dunia ini?!" Zilla yang di sekolah seringkali terihat terdiam seperti melamun, tanpa siapapun tahu sebenarnya hati kecilnya menyuarakan banyak hal. Dan lagi, menangis menjadi puncak dari sesak dan rasa sakitnya.
Baca juga :